Rabu, 29 Maret 2017

PENGERTIAN HUKUM DAN HUKUM EKONOMI

Pengertian Hukum


Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik daripada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela.

Tujuan Hukum & Sumber-sumber Hukum


Tujuan Hukum


Pada hakekatnya, tujuan hukum adalah manfaat dalam menyalurkan kebahagiaan atau kenikmatan yang besar bagi jumlah yang terbesar. Terkait dengan tujuan hukum maka ada beberapa pendapat para ahli mengenai tujuan hukum yaitu:
1. Tujuan hukum menurut Aristoteles (teori etis) adalah hanyalah untuk mencapai keadilan, yang berarti memberikan sesuatu kepada setiap orang yang telah menjadi haknya. Dikatakan teori etis karena hukumnya berisi tentang kesadaran etis mengenai apa yang tidak adil dan apa yang adil.
2. Tujuan Hukum menurut Jeremy Bentham (teori utilitis ) adalah untuk mencapai kemanfaatan. Berarti hukum untuk menjamin kebagiaan bagi banyak orang atau masyarakat.
3. Tujuan hukum menurut Geny (D.H.M. Meuvissen: 1994) untuk mencapai keadailan dan sebagai komponen keadilan untuk kepentingan daya guna dan kemanfaatan.
4. Tujuan hukum menurut Van Apeldor adalah untuk mengatur pergaulan hidup yang ada dimasyarakat secara damai dengan melindungi segala kepentingan hukum manusia, semisal kemerdekaan jiwa, harta benda, dan kehormatan.
5. Tujuan hukum menurut Prof. Subekti S.H adalah untuk menyelenggarakan ketertiban dan keadilan sebagai syarat untuk mendatangkan kebahagiaan dan kemakmuran.
6. Tujuan hukum menurut Purnadi dan Soerjono Soekanto adalah untuk mencapai kedamaian hidup manusia mencakup ketertiban eksternal antarpribadi dan ketenangan internal pribadi.

Sumber-sumber Hukum


Sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan - aturan yang mempunyai kekuatan dan bersifat memaksa. Artinya, sumber hukum berbentuk aturan-aturan yang jika dilanggar maka akan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Merujuk pada para ahli hukum, sumber hukum dibedakan ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu sumber  hukum  dalam  arti material dan sumber hukum dalam arti formal.

1.      Sumber  Hukum  dalam  arti  material artinya penentuan isi hukum berdasarkan pada suatu keyakinan atau perasaan hukum individu dan pendapat umum. Artinya, pembentukan hukum tersebut dipengaruhi pada keyakinan/ perasaan hukum  individu selaku   anggota  masyarakat, dan pendapat umum. Sumber hukum dalam arti material secara sederhana dapat dipahami sebagai hukum yang berasal dari adat atau norma yang diyakini dan berlaku dalam masyarakat.

2.     Sumber hukum dalam arti Formal artinya adanya bentuk atau kenyataan dimana kita dapat menemukan hukum yang berlaku. Jadi, sumber hukum dalam arti formal didasarkan pada bentuknya yang menyebabkan hukum berlaku umum, diketahui, dan ditaati. Sumber hukum dalam arti formal secara sederhana dapat dihamapi sebagai hukum formal atau resmi yang memiliki wujud nyata atau tertulis.

Yang termasuk dalam sumber hukum dalam arti formal ada beberapa hal, meliputi :
1)      Undang-undang
2)      Kebiasaan atau hukum tak tertulis
3)      Yurisprudensi
4)      Traktat
5)      Doktrin
Berikut penjelasan yang termasuk ke dalam hukum formal:
1)      Undang-undang
Sebelum masuk pada pembahasan undang-undang, terlebih dahulu perlu diketahui bahwa hukum bila dilihat dari bentuknya, dibedakan menjadi (a) hukum tertulis; dan (b)  Hukum tidak tertulis. Undang-undang merupakan salah satu contoh hukum tertulis. Pengertian dari undang-undang adalah peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan  negara yang berwenang yang isinya mengikat masyarakat umum. Definisi undang-undang juga dapat dibedakan ke dalam arti materiil dan arti formal, sebagai berikut:

a.       Undang-undang dalam  arti  materiil, artinya  undang-undang ini menyangkut setiap peraturan yang dikeluarkan oleh Negara yang isinya langsung mengikat masyarakat  umum.  Contohnya seperti Ketetapan MPR, Peraturan pemerintah  Pengganti Undang-undang  (PERPU), Keputusan Presiden (KEPRES), Peraturan Daerah (PERDA).

b.      Undang-undang dalam arti formal, artinya setiap peraturan negara yang karena bentuknya maka disebut sebagai undang-undang. Hal ini berarti undang-undang berdasarkan pada setiap keputusan/ peraturan yang dilihat dari cara pembentukannya. Di Indonesia, Undang- undang dalam  arti formal dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR (pasal 5 ayat 1 UUD 45).
Perbedaan dari kedua macam undang-undang tersebut terletak pada sudut peninjauannya. Undang-undang dalam arti materiil  ditinjau dari isinya yang   mengikat secara umum, sedangkan  undang-undang  dalam  arti  formal  ditinjau  segi pembuatan dan bentuk dari undang-undang itu sendiri. Oleh  karenanya, untuk memudahkan dalam membedakan kedua macam pengertian undang-undang,  maka  undang-undang dalam  arti materiil lebih sering disebut dengan istilah peraturan. Sedangkan undang-undang  dalam  arti  formal  adalah yang biasa disebut sebagai undang- undang.
2)      Kebiasaan atau Hukum tak tertulis
Kebiasaan (custom ) meliputi  keseluruhan aturan yang diyakini dan ditaati oleh masyarakat sebagai hukum, meskipun aturan tersebut tidak ditetapkan oleh pemerintah. Kebiasaan yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum dan memiliki kekuatan yang berlaku harus memenuhi beberapa kriteria berikut:

a. Harus ada perbuatan atau tindakan tertentu yang dilakukan secara berulangkali dalam hal yang sama, serta diikuti secara umum atau oleh orang banyak.
b. Harus ada keyakinan hukum dari orang-orang atau golongan-golongan yang   berkepentingan. Keyakinan hukum yang dimaksud adalah aturan tersebut memiliki nilai yang baik dan layak untuk diikuti serta diyakini mempunyai kekuatan mengikat.
3)      Yurisprudensi
Yurisprudensi merupakan keputusan hakim terdahulu yang kemudian diikuti dan dijadikan pedoman oleh hakim-hakim lain sebagai sumber hukum dalam memutuskan suatu perkara yang serupa.
4)      Traktat
Traktat adalah jenis perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih. Perjanjian yang dilakukan oleh hanya 2 (dua) negara disebut sebagai Traktat  Bilateral,  sedangkan  Perjanjian  yang  dilakukan oleh lebih dari 2 (dua) negara disebut sebagai Traktat Multilateral. Terdapat juga Traktat Kolektif, yakni berupa perjanjian antara beberapa negara yang kemudian perjanjian tersebut dibuka bagi negara-negara lainnya untuk dapat mengikatkan  diri  dalam perjanjian tersebut.
5)      Doktrin Hukum
Doktrin hukum adalah  pendapat  para  ahli  atau  sarjana  hukum  ternama dan terkemuka yang dijadikan sebagai sumber hukum.  Dalam  Yurispudensi, hakim seringkali berpegangan pada pendapat seseorang atau beberapa sarjana hukum   yang ternama. Pendapat dari para sarjana hukum inilah yang kemudian menjadi dasar keputusan-keputusan yang hendak diambil oleh seorang hakim dalam menyelesaikan suatu perkara.

Kodifikasi Hukum


kodifikasi hukum secara umum adalah suatu langkah pengkitaban hukum atau penulisan hukum ke dalam suatu kitab undang-undang (codex) yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah.
Beberapa contoh hukum yang telah dikodifikasikan di Indonesia adalah:
Hukum pidana yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hukum perdata yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Hukum dagang yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Hukum acara pidana yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Maksud dan tujuan dilakukannya kodifikasi hukum adalah :
Untuk lebih menjamin kepastian hukum di mana suatu hukum tersebut sungguh-sungguh telah tertulis di dalam suatu kitab undang-undang.
Untuk lebih memudahkan masyarakat dalam memperoleh atau memiliki dan mempelajarinya.
Sedapat mungkin mengurangi dan mencegah kesimpang siurang terhadap hukum yang bersangkutan.
Mencegah penyelewengan dalam pelaksanaan hukum.
Mengurangi keadaan yang berlarut-larut dari masyarakat yang buta hukum mengingat dengan telah dikodifikasikannya suatu hukum, maka masyarakat menjadi lebih mudah untuk mencari dan memperoleh serta mempelajarinya.

Kaidah/Norma


Norma atau kaidah adalah petunjuk hidup, yaitu petunjuk bagaimana seharusnya kita berbuat, bertingkah laku, tidak berbuat, dan tidak bertingkah laku didalam masyarakat. Dengan demikian, norma atau kaidah tersebut berisi perintah atau larangan setiap orang hendaknya menaati norma atau kaidah itu agar kehidupan dapat tenteram dan damai. Hukum merupakan seperangkat norma atau kaidah, dan kaidah itu bermacam­-macam, tetapi tetap sebagai satu kesatuan.


Pengertian Ekonomi dan Hukum Ekonomi


Ekonomi


Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa. Istilah "ekonomi" sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti "keluarga, rumah tangga" dan nomos yang berarti "peraturan, aturan, hukum". Secara garis besar, ekonomi diartikan sebagai "aturan rumah tangga" atau "manajemen rumah tangga." Sementara yang dimaksud dengan ahli ekonomi atau ekonom adalah orang menggunakan konsep ekonomi, dan data dalam bekerja.

Hukum Ekonomi


Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.
Sumber :
http://www.organisasi.org/1970/01/pengertian-arti-definisi-hukum-ekonomi-disertai-contoh-pelajaran-pendidikan-ilmu-ekonomi-dasar-belajar-dari-mudah-internet.html

SUBJEK HUKUM DAN OBJEK HUKUM

Subjek Hukum :

Manusia

Manusia (naturlife persoon) Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya.

Badan Hukum

Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dan kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.
Objek Hukum :

Benda Bergerak

Benda bergerak, adalah setiap benda yang bergerak karena:
sifatnya dapat bergerak sendiri, contoh hewan;
dapat dipindahkan, contoh meja dan kursi
bergerak karena penetapan atau ketentuan undang-undang, contoh hak pakai.
Benda Tidak Bergerak

Benda tidak bergerak, adalah setiap benda yang tdak dapat bergerak sendiri atau tidak dapat dipindahkan karena:
sifatnya yang tidak bergerak, contoh tanah dan apa yang terkandung di dalamnya.
menurut tujuannya, setiap benda yang dihubungkan dengan benda yang karena sifatnya tdak bergerak, contoh wastafel di kamar mandi, ubin.
penetapan undang-undang, yaitu hak atas benda tidak bergerak dan kapal yang tonasenya/beratnya 20m3.
Hak Kebendaan yang Bersifat Sebagai Pelunasan Hutang (Hak Jaminan)

Jaminan Umum

Pelunasan hutang dengan jaminan umum didasarkan pada pasal 1131KUH Perdata dan pasal 1132 KUH Perdata.
Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa segala kebendaan debitur baik yang ada maupun yang akan ada baik bergerak maupun yang tidak bergerak merupakan jaminan terhadap pelunasan hutang yang dibuatnya.
Sedangkan pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan harta kekayaan debitur menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditur yang memberikan hutang kepadanya.
Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yakni besar kecilnya piutang masing-masing kecuali diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.
Dalam hal ini benda yang dapat dijadikan pelunasan jaminan umum apabila telah memenuhi persyaratan antara lain :
1.Benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang).
2.Benda tersebut dapat dipindah tangankan haknya kepada pihak lain.
Jaminan Khusus

Pelunasan hutang dengan jaminan khusus merupakan hak khusus pada jaminan tertentu bagi pemegang gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fidusia.
Sumber :

HUKUM PERDATA

Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia

Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan asas konkordansi.
Sejarah Singkat Hukum Perdata

Pertama, Sebelum Indonesia merdeka sebagaimana negara jajahan, maka hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bangsa penjajah. Hal yang sama dengan hukum perdata. Hukum perdata yang di berlakukan bangsa belanda untuk Indonesia mengalami adopsi dan penjalanan sejarah yang sangat panjang. Pada mulanya hukum perdata belanda di rancang oleh suatu panitia yang di bentuk tahun 1814 yang di ketuai oleh Mr.J.M Kempers (1776 – 1824).Tahun 1816,Kempers menyampaikan rencana kode hukum tersebut pada pemerintah Belanda di dasarkan pada hukum Belanda kuno dan di beri nama Ontwerp Kempers. Ontwerp Kempers ini di tantang keras oleh P.Th.Nicolai,yaitu anggota parlemen berkebangsaan Belgia dan sekaligus menjadi Presiden Pengadilan Belgia.Tahun 1824 Kempers meninggal,selanjutnya penyusunan kodifikasi code hukum di serahkan Nicolai.Akibat perubahan tersebut,dasar pembentukan hukum perdata Belanda sebagian besar berorientasikan pada code civil Perancis.Code civil Perancis sendiri meresepsi hukum romawi,Corpus Civilis dari Justinianus.Dengan demikian hukum perdata belanda merupakan kombinasi dari hukum Kebiasaan/hukum Belanda kuno dan Code Civil Perancis.Tahun 1838,Kodifikasi hukum perdata Belanda Di tetapkan dengan stbl.838.[3] Pada tahun 1848,kodifikasi hukum perdata belanda di berlakukan di Indonesia dengan stbl.1848.Dan Tujuh tahun kemudian,Hukum perdata di Indonesia kembali di pertegas lagi dengan stbl.1919.
Kedua, Setelah Indonesia merdeka, hukum Perdata yang berlaku di Indonesia di dasarkan pada pasal II aturan peralihan UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan di nyatakan masih berlaku sebelum di adakan peraturan baru menurut UUD termasuk di dalamnya hukum perdata Belanda yang berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum) di bidang hukum perdata. Namun, secara keseluruhan hukum perdata Indonesia dalam perjalanan sejarahnya mengalami beberapa proses pertumbuhan atau perubahan yang mana perubahan tersebut di sesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri.

Pengertian dan Keadaan Hukum di Indonesia

Mengenai keadaan hukum perdata di Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka ragam. Factor yang mempengaruhinya antara lain :
1. Factor etnis : keanekaragaman adat di Indonesia
2. Factor historia yuridis yang dapat dilihat pada pasal 163, I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu :
     1. Golongan eropa : hukum perdata dan hukum dagang
     2. Golongna bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli) : hukum adat
     3. Golongan timur asing (bangsa cina, india, arab) : hukum masing-masing

Untuk golongan warga Negara bukan asli yang bukan berasal dari Tionghoa atau eropa berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, jadi tidak mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan maupun yang mengenai hukum warisan. 

Sistematika Hukum Perdata di Indonesia

Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian yaitu :
Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan disahkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanahbangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sumber :

HUKUM PERIKATAN


Pengertian Hukum Perikatan

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

Dasar Hukum Perikatan

Menurut ketentuan Pasal 1233 BW perikatan bersumber dari perjanjian dan undang undang. Perikatan yang bersumber dari perjanjian diatur dalam titel II (Pasal 1313 s.d. 1351) dan titel V s.d. XVIII (Pasal 1457 s.d. 1864) Buku III BW.
Sedangkan perikatan yang bersumber dari undang undang diatur dalam titel III (Pasal 1352 s.d. 1380) Buku III BW. Perikatan yang bersumber dari undang undang menurut Pasal 1352 BW dibedakan atas perikatan yang lahir dari undang undang (uit de wet allen) dan perikatan yang lahir dari undang undang karena perbuatan manusia (uit de wet door’s mensen toedoen).
Kemudian perikatan yang lahir dari undang undang karena perbuatan manusia menurut Pasal 1353 BW dibedakan lagi atas perbuatan yang sesuai dengan hukum (rechmatige) dan perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige).

Asas-asas Dalam Hukum Perikatan

1.       Sistem terbuka dan asas konsensualisme (Ps. 1338 (1)) Sistem terbuka dan sistem tertutup berkaitan dengan aanvullend recht (optinal law) atau hukum pelengkap. Konsensualisme lahir pada saat tercapai kata sepakat
2.       Asas kebebasan berkontrak yaitu kebebasan untuk menentukan isi dan bentuk perjanjian
3.       Asas kekuatan mengikat yaitu asas yang menyatakan bahwa para pihak terkait untuk melaksanakan isi perjanjian termasuk terikat pada kebiasaan & kepatutan
4.       Asas kepribadian  yaitu asas yang menyatakan bahwa perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri (Ps. 1315 jo 1340). Pengecualiannya ps. 1317
5.       Asas itikad baik  (ps. 1338)  perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Itikad baik harus diartikan objektif. Maksudnya perjanjian didasarkan pada keadilan, kepatutan, dan kesusilaan.
6.       Asas Pacta Sunt Servanda berkaitan dengan akibat perjanjian (Ps. 1338 ayat (1)) adanya asas kepastian hokum. Pada asas ini tersimpul adanya larangan bagi para hakim untuk mencampuri isi dari perjanjian

Wanprestasi dan Akibat-akibatnya

Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian.
Bentuk-bentuk wan prestasi :
1.       Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
2.       Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat);
3.       Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; dan
4.       Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut, serta bunga. Wanprestasi ini merupakan bidang hukum perdata.
Akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi berupa:
1.       Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);
2.       Pembatalan perjanjian;
3.       Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya  kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan oleh krediturdalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut (Pasal 1276 KUHPerdata):
1.       Memenuhi/melaksanakan perjanjian;
2.       Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;
3.       Membayar ganti rugi;
4.       Membatalkan perjanjian; dan
5.       Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.
Hapusnya Perikatan

Menurut ketentuan Pasal 1381 KUHPer, sesuatu perikatan baik yang lahir dari perjanjian maupun undang undang dapat berakhir karena, beberapa hal antara lain: (Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 243)
1.       Pembayaran (betaling), yaitu jika kewajibannya terhadap perikatan itu telah dipenuhi (Pasal 1382 KUH Perdata);
2.       Penawaran bayar tunai diikuti penyimpanan/penitipan (consignatie), yaitu pembayaran  tunai yang diberikan oleh debitor, namun tidak diterima kreditor kemudian oleh dibitor  disimpan pada pengadilan (Pasal 1404 KUH Perdata);
3.       Pembaruan utang (novasi), yang apabila utang yang lama digantikan oleh utang yang  baru (Pasal 1416 dan 1417 KUH Perdata);
4.       Kompensasi atau Imbalan (vergelijking), yaitu apabila kedua belah pihak saling berutang,  maka utang mereka masing masing diperhitungkan;
5.       Percampuran utang (schuldvermenging), yaitu apabila pada suatu perikatan kedudukan  kreditor dan debitor ada di satu tangan seperti pada warisan (Pasal 1436 dan 1437 KUH  Perdata);
6.       Pembebasan utang (kwijtschelding der schuld), yaitu apabila kreditor membebaskan segala utang-utang dan kewajiban pihak debitor (Pasal 1438-1441 KUH Perdata);
7.       Batal dan Pembatalan (nietigheid ot te niet doening), yaitu apabila perikatan itu batal atau dibatalkan; misalnya terdapat paksaan (Pasal 1446 KUH Perdata);
8.       Hilangnya benda yang diperjanjikan (het vergaan der verschuldigde zaak), yaitu apabila  benda yang diperjanjikan binasa, hilang atau menjadi tidak dapat diperdagangkan (Pasal  1444-1445 KUH Perdata);
9.       Timbul syarat yang membatalkan (door werking ener ontbindende voorwaarde), yaitu  ketentuan isi perjanjian yang disetujui kedua belah pihak;
10.   Kedaluwarsa (verjaring).
Sumber :
bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/hukum-perikatan.ppt